Aksi Tolak 58 Tahun Freeport Ilegal di West Papua dan RUU TNI di Gedung Merdeka

Orator menyampaikan orasinya di depan gedung Merdeka Bandung. (Arsip sEntra)
Orator menyampaikan orasinya di depan gedung Merdeka Bandung. (Arsip sEntra)

Aksi Tolak 58 Tahun Freeport Ilegal di West Papua dan RUU TNI di Gedung Merdeka

Aksi damai mahasiswa Papua tolak Freeport di Gedung Merdeka Bandung
Aksi damai mahasiswa Papua tolak Freeport di Gedung Merdeka Bandung

Sentra,7 April, Massa berkumpul di Taman Cikapundung pukul 12.00 WIB sebelum bergerak ke Gedung Merdeka. Mereka membawa spanduk bertuliskan “58 Tahun Freeport Ilegal di West Papua”, dan“ MILITER PEMBUNUH ”. Dalam orasinya, mahasiswa menyebut kontrak karya Freeport ditandatangani pada 7 April 1967—dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969—sebagai bukti ketidakabsahan Indonesia menguasai Papua. Seruan lantang menolak eksploitasi dan militerisasi kembali menggema di depan Gedung Merdeka, Bandung. Puluhan mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua melakukan aksi damai memperingati 58 tahun beroperasinya PT Freeport Indonesia di tanah Papua.

Tim dari Sentra Pers Mahasiswa Universitas Widyatama bekerja sama dengan ISOLAPOS (Unit Pers Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia) melakukan wawancara langsung kepada beberapa massa aksi yang hadir.

Freeport Masuk Sebelum Indonesia Kuasai Papua

Roni Moninjiba, salah satu perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua, menyatakan bahwa keberadaan PT Freeport di Papua sejak awal sudah bersifat ilegal. Ia menilai, Freeport telah masuk sebelum Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia.

“Masuknya Freeport ke Papua terjadi saat Indonesia belum menguasai Papua. Prosesnya dipaksakan, masyarakat Papua dimasukkan ke NKRI dengan todongan senjata. Setelah masuk, kami dibiarkan begitu saja,” jelas Roni.

Roni juga menyoroti dampak dari disahkannya Undang-Undang TNI yang memperkuat kehadiran militer di Papua.

“Sekarang, banyak wilayah kami yang disakralkan justru dimasuki tentara, seperti Puncak Jaya dan Intan Jaya. Itu semua demi kepentingan tambang dan proyek strategis nasional,” lanjutnya.

Menurutnya, proyek pangan nasional di Merauke juga menjadi bukti lain eksploitasi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat setempat.

“Yang dibutuhkan masyarakat itu air bersih dan layanan kesehatan, bukan proyek pertanian besar,” tegasnya.

Fero: “Selama 58 Tahun, Kami Tidak Pernah Sejahtera”

Sementara itu, Fero, massa aksi perempuan dari Aliansi Mahasiswa Papua menjelaskan alasan utama di balik aksi serentak ini.

“Kami menuntut pencabutan PT Freeport karena selama 58 tahun keberadaannya, tidak ada kesejahteraan yang dirasakan masyarakat Papua. Bahkan sejak awal masyarakat Papua tidak dilibatkan dalam peresmian perusahaan asing yang masuk,” ujarnya.

Ia juga menyoroti hak penentuan nasib sendiri yang telah dideklarasikan pada 1 Desember 1961, namun hingga kini tidak diakui oleh negara.

“Kami hanya ingin hak kami kembali. Selama Papua bergabung dengan Indonesia, tidak ada kesejahteraan, yang ada hanya kekerasan, intimidasi, dan pemiskinan,” ungkap Fero.

Fero menyatakan bahwa aksi seperti ini dilakukan rutin tiap tahun, namun masih sering dibungkam secara represif di berbagai wilayah.

“Seperti di Nabire, tadi pagi teman-teman yang aksi malah ditangkap dan dimasukkan ke sel. Tapi di Bandung, sejauh ini aman,” katanya.

 

Tuntutan Penghentian Proyek PSN dan RUU TNI


Aksi di Gedung Merdeka—situs Konferensi Asia Afrika 1955—sengaja dipilih untuk menggalang dukungan internasional. Peserta membagikan risalah berjudul “Fakta Kolonialisme Indonesia di Papua” kepada pengendara dan pejalan kaki.

Tuntutan aksi meliputi:

  1. Penutupan operasi Freeport dan perusahaan ilegal di Papua.
  2. Pencabutan RUU TNI dan semua regulasi yang melemahkan hak masyarakat adat.
  3. Pengakuan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua.
  4. Penghentian proyek PSN yang merampas tanah adat.

 

Roni dan Fero: Pemerintah Harus Akui Penderitaan Rakyat Papua

Peserta Aksi Menunjukan Poster foto kekerasan oleh Militer di depan gedung Merdeka Bandung
Peserta Aksi Menunjukan Poster foto kekerasan oleh Militer di depan gedung Merdeka Bandung

Baik Roni maupun Fero berharap aksi ini menjadi pintu bagi pemerintah dan masyarakat luas untuk melihat penderitaan yang selama ini dialami masyarakat Papua.

“Kami ingin pemerintah dengar suara kami. Cukup sudah tanah kami dijarah, cukup sudah masyarakat kami ditakuti dan diusir dari tanahnya sendiri,” tutup Roni.

Aksi ditutup dengan pembacaan puisi dan orasi dari perwakilan mahasiswa Papua yang menggugah hati para pengguna jalan dan masyarakat sekitar. Aksi berjalan damai hingga selesai, dengan kawalan dari aparat keamanan.

 

Penulis : Ardhzohal Roman Ario Bono & Salman Yahua Rusadi

Editor : Viska Carolin

Pos terkait