Aliansi SUCI Bergerak Gelar Aksi Tolak RUU KUHAP di DPRD Jabar

Mahasiswa Widyatama yang berorasi di Depan Gedung DPRD Jawa Barat dalam aksi penolakan RUU KUHAP
Mahasiswa Widyatama yang berorasi di Depan Gedung DPRD Jawa Barat dalam aksi penolakan RUU KUHAP

sEntra – Bandung 23 November 2025. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)—yang mengatur prosedur penegakan hukum pidana di Indonesia mulai dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, hingga proses persidangan dan upaya hukum—menuai kontroversi karena dianggap berpotensi melemahkan perlindungan hak-hak warga negara. Rancangan yang disahkan ini merupakan pembaruan dari KUHAP yang sebelumnya diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981.Pemerintah menyebut revisi ini sebagai langkah perbaikan mekanisme peradilan pidana. Namun, banyak pihak menilai bahwa sejumlah pasal justru menurunkan standar perlindungan hak asasi dan membuka ruang pelanggaran prosedur oleh aparat penegak hukum. 

Pada tanggal 18 November 2025 tepat dihari selasa RUU KUHAP terbaru disahkan, belasan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi SUCI Bergerak, yaitu komunitas mahasiswa dari berbagai kampus yang beralamat di sekitar kawasan Jalan Surapati dan Cikutra (SUCI), Bandung, seperti Universitas Widyatama, Ekuitas University, Universitas Sangga Buana YPKP, Institut Teknologi Nasional turun ke jalan menggelar aksi penolakan terhadap RUU KUHAP di depan Gedung DPRD Jawa Barat. Aksi ini menjadi salah satu gerakan mahasiswa paling awal yang muncul di Bandung, menunjukkan respons cepat kelompok mahasiswa terhadap isu legislasi nasional yang dinilai berpotensi mengancam prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi.

Aliansi SUCI Bergerak Soroti Pasal Bermasalah dalam RUU KUHAP Baru

Dalam aksi tolak RUU KUHAP di depan Gedung DPRD Jabar, mahasiswa Aliansi SUCI Bergerak tidak hanya menyuarakan penolakan umum, tetapi juga menyoroti pasal-pasal tertentu dalam draf KUHAP baru yang menurut mereka sangat berisiko bagi perlindungan hak warga.

Berikut beberapa pasal kunci yang paling banyak dikritik:

Pasal 112 dan 112A — Penyitaan dalam Kondisi Mendesak

  • Pasal 112: Sebelum penyitaan, penyidik harus memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Ayat-ayat dalam pasal ini mengatur detail permohonan izin, jenis barang, jumlah, lokasi, dan saksi. kumparan+1
  • Pasal 112A: Dalam “keadaan mendesak”, penyidik diperbolehkan melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri, asalkan hanya atas benda bergerak. tirto.id+2detiknews+2
    • Ayat (1) menyatakan bahwa setelah penyitaan dilakukan, penyidik wajib melaporkan ke Ketua PN dalam waktu 5 hari kerja untuk mendapat persetujuan retroaktif. detiknews
    • Ayat (2) menjabarkan kriteria “keadaan mendesak”:
      1. Letak geografis sulit dijangkau.
      2. Tertangkap tangan.
      3. Kemungkinan tersangka menghilangkan barang bukti secara nyata.
      4. Barang mudah dipindahkan.
      5. Ancaman serius terhadap keamanan atau nyawa. detiknews
    • Ayat (4) memberlakukan bahwa Ketua PN harus memberikan “penetapan persetujuan atau penolakan” dalam waktu paling lama 2 hari kerja sejak penyidik meminta persetujuan. detiknews
  • Pasal 112B: Jika PN menolak izin penyitaan (atau persetujuan pasca-penyitaan), maka penyitaan dianggap tidak sah sebagai alat bukti. detiknews+1

Kritik:
Aliansi mahasiswa dan kelompok HAM menyebut frasa “keadaan mendesak” sangat rentan multitafsir dan sangat bergantung penilaian penyidik, sehingga membuka celah penyalahgunaan. LBH Masyarakat+1
Tanpa kontrol yudisial awal, tindakan penyitaan bisa terjadi tanpa pengawasan hakim terlebih dahulu, yang dikhawatirkan melemahkan prinsip due process. YLBHI+1

 

Mahasiswa Widyatama yang berorasi di Depan Gedung DPRD Jawa Barat dalam aksi penolakan RUU KUHAP (Arsip sEntra)
Mahasiswa Widyatama yang berorasi di Depan Gedung DPRD Jawa Barat dalam aksi penolakan RUU KUHAP (Arsip sEntra)

Pasal 136 — Penyadapan

  • Dalam draf RUU KUHAP, Pasal 136 ayat (2) menyebutkan bahwa “ketentuan penyadapan” akan diatur dalam undang-undang khusus terpisah. YLBHI
  • Menurut YLBHI, pasal ini memungkinkan penyidik melakukan penyadapan tanpa batasan jenis tindak pidana, dan belum ada “safeguard” (pelindung) yang jelas. YLBHI
  • Namun, menurut pernyataan DPR (Ketua Komisi III), KUHAP baru tidak mengatur penyadapan secara detail — pengaturan penyadapan akan dilakukan melalui undang-undang lain. ANTARA News+1

Kritik:
Meski DPR menyatakan penyadapan diatur di UU terpisah, aktivis khawatir bahwa pasal ini meninggalkan celah besar karena jenis kejahatan yang bisa disadap tidak dibatasi dan mekanisme pengawasan belum jelas. YLBHI+1
Hal ini dinilai bisa menjadi ancaman terhadap privasi dan potensi penyadapan sewenang-wenang jika pengawasan di UU penyadapan kemudian lemah.

Pasal 106 (disebut dalam kritik) — Penggeledahan dalam Keadaan Mendesak

  • Kritik dari kalangan hak asasi menyebut bahwa Pasal 106 ayat (4) dalam draf RUU KUHAP menggunakan frase “keadaan mendesak” untuk penggeledahan. detiknews
  • Mereka menilai definisi “mendesak” tidak dijabarkan secara normatif di pasal utama, melainkan hanya di penjelasan, yang membuat tolok ukur tindakan aparat menjadi kabur.

Kritik:
Ketidakjelasan ini bisa menimbulkan interpretasi luas atas kapan penyidik boleh melakukan penggeledahan tanpa izin hakim, yang kemudian mengikis kontrol yudisial dan potensi penyalahgunaan. LBH Masyarakat

Pendapat Presma Ekuitas dan Widyatama Dalam Aksi Tolak RUU KUHAP

 

Aliansi Mahasiswa SUCI Bergerak menggelar aksi di Gedung DPRD Jawa Barat pada Selasa, 18 November 2025. (Arsip sEntra)
Aliansi Mahasiswa SUCI Bergerak menggelar aksi di Gedung DPRD Jawa Barat pada Selasa, 18 November 2025. (Arsip sEntra)

Untuk memperkuat suara penolakan, aksi ini juga mendapat tanggapan dari berbagai ketua BEM/Presma kampus di Bandung.

Akmam Presiden Mahasiswa Universitas Ekuitas, dalam pernyataannya, mengatakan:

“Keberatan kita sampai turun ke jalan ini, karena dirasa RUU (KUHAP) yang telah disahkan menjadi undang-undang, rasa-rasanya banyak sekali pasal-pasal yang rancu.”

“Untuk hal (pasal) yang paling merugikan di masyarakat ini ada di salah satu pasal yang telah disahkan ini perihal bahwasannya penyidik bisa melakukan penyelidikan tersebut tanpa adanya barang bukti yang kuat, yang pada akhirnya masyarakat-masyarakat tersebut yang akan dirugikan.” sambungnya

Rizki Presiden Mahasiswa Universitas Widyatama juga menegaskan hal senada:

“Pada dasarnya untuk RUU KUHAP ini Habiburokhman selaku ketua komisi III mengesahkan dan juga menyampaikan bahwasannya RUU KUHAP ini 99 persen atas aspirasi rakyat, tapi faktanya kami-kami ini melawan akan hal itu karena tidak 99 persen sepakat atas sebuah disahkannya RUU KUHAP ini, berikutnya yang menjadi kemarahan kami terhadap RUU KUHAP ini adalah pertama RUU KUHAP ini dibahas secara tergesa-gesa, berikutnya adalah banyak kesewenang-wenangan aparat penegak hukum yang nantinya akan terus dikedepankan dan juga terus menekan hak-hak kami selaku rakyat, ketika kami mungkin punya salah, ketika kami nanti kedepannya ada permasalahan-permasalahan yang nantinya berkaitan dengan hukum, maka kesewenangan aparat ini semakin tinggi dengan disahkannya ruu kuhap ini.”

“Dari pasal yang ada dalam salah satu RUU KUHAP ini adalah pertama terkait dengan penggeledahan ataupun juga penyidikkan yang dilakukan oleh aparat itu akan dilakukan secara sembrono tanpa adanya legistimasi ataupun juga pengesahan dari yudikatif, kedua adanya penyadapan terkait dengan akses kita selaku warga negara Indonesia itu akan dengan mudahnya diakses oleh mereka (aparat) dan berikutnya ada dalam pasal berapa, saya menyatakan bahwasannya bukti yang dikaitkan dalam sebuah kuhap itu hanya berpacu pada sebuah kuantitas tapi bukan kualitas, kenapa? karena dalam pasalnya menyebutkan hanya dengan perlunya 2 bukti itu bisa ditetapkan sebagai seorang tersangka, tidak melibatkan bagaimana kualitas bukti tersebut.” jelas Rizki 

Pernyataan kedua presma ini memperlihatkan kesamaan sikap: keberatan terhadap pasal-pasal yang dianggap mengancam hak dasar warga negara, terutama di bidang kebebasan sipil dan keamanan digital.

Aliansi Mahasiswa SUCI Bergerak menggelar aksi di Gedung DPRD Jawa Barat pada Selasa, 18 November 2025. (Arsip sEntra)
Aliansi Mahasiswa SUCI Bergerak menggelar aksi di Gedung DPRD Jawa Barat pada Selasa, 18 November 2025. (Arsip sEntra)

Kesimpulan dan Implikasi Aksi Tolak RUU KUHAP

Dengan mencantumkan pasal-pasal seperti Pasal 112 / 112A / 112B (penyitaan mendesak) dan Pasal 136 (penyadapan), Aliansi SUCI Bergerak dan elemen masyarakat lainnya menilai bahwa RUU KUHAP memberi ruang luas bagi penyidik untuk bertindak tanpa kontrol yudisial awal.

Mereka menganggap bahwa meskipun ada ketentuan pelaporan atau persetujuan setelah tindakan, tetap ada risiko pelanggaran hak asasi karena:

  • Penilaian “mendesak” dapat bersifat subjektif.
  • Kendati penyitaan/dokumen disita dulu, persetujuan hakim bisa datang belakangan — artinya tindakan sudah terjadi.
  • Untuk penyadapan, aturan teknisnya belum jelas (diatur di UU lain), sehingga potensi penyalahgunaan masih besar.

Aliansi menuntut revisi pasal-pasal ini agar kontrol yudisial tetap kuat, definisi “mendesak” diperjelas secara objektif, dan perlindungan terhadap hak warga negara (mis. hak milik, hak privasi) dijamin dalam undang-undang.

Sumber Referensi

  • Detik.com — Penjelasan Pasal 112A KUHAP terkait penyitaan mendesak detiknews
  • Tirto.id — Bunyi Pasal 112A KUHAP baru tirto.id
  • YLBHI — Kritik atas Pasal 136 dan potensi masalah HAM YLBHI
  • Koalisi Masyarakat Sipil — Analisis pasal “keadaan mendesak” LBH Masyarakat
  • Detik.com — Kritik pada pengaturan Pasal 106 ayat (4) RKUHAP tentang penggeledahan detiknews

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *