Bencana Besar Sumatra 2025: Banjir, Longsor, Perusakan Lingkungan, dan Krisis Kemanusiaan

Tumpukan kayu pasca bencana banjir bandang mengakibatkan putusnya akses ke Desa Tanjung Karang Aceh Tamiang (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)
Tumpukan kayu pascabanjir bandang mengakibatkan putusnya akses ke Desa Tanjung Karang Aceh Tamiang (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

sEntra 08 Desember 2025 -Pulau Sumatra mengalami salah satu bencana alam terbesar dalam sejarah modern Indonesia. Sejak akhir November hingga awal Desember 2025, hujan ekstrem yang dipicu badai tropis menyebabkan banjir masif, banjir bandang, dan tanah longsor di berbagai wilayah seperti Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Hujan dengan intensitas luar biasa ini tidak hanya menggenangi area padat penduduk, tetapi juga menghancurkan desa-desa, menenggelamkan pemukiman, serta memutus akses jalan, jembatan, dan sarana vital lainnya.

Menurut laporan resmi per 7 Desember 2025, jumlah korban tewas telah mencapai setidaknya 940 jiwa, dengan banyak korban masih dinyatakan hilang. Ratusan fasilitas kesehatan, sekolah, dan pusat layanan masyarakat rusak atau tidak bisa beroperasi akibat terendam lumpur dan air. Situasi ini menjadikan bencana bukan hanya tragedi alam, tetapi juga krisis kemanusiaan yang sangat serius.
— Reuters, 7 Desember 2025

 

Kerusakan & Dampak Lapangan

Bencana alam di sumatra utara (Foto: 'Lautan Kayu' di Aceh Tamiang (Erlangga Bregas Prakoso-Antara)
Bencana alam di sumatra utara (Foto: ‘Lautan Kayu’ di Aceh Tamiang (Erlangga Bregas Prakoso-Antara)

Bencana ini menghancurkan ratusan rumah dan memutus akses vital di banyak daerah. Banyak warga terpaksa berjalan melintasi tumpukan kayu hanyut, lumpur tebal, kendaraan rusak, dan puing bangunan hanya untuk mencapai pusat bantuan terdekat. Banyak desa terisolasi total karena jalan dan jembatan lenyap tersapu air. Kondisi pengungsian pun sangat memprihatinkan, karena minimnya air bersih, sanitasi buruk, dan fasilitas kesehatan yang terbatas.

Di beberapa wilayah, rumah sakit tidak dapat beroperasi karena terendam banjir atau kehilangan pasokan listrik. Peralatan medis yang rusak, obat-obatan yang terkontaminasi air, dan meningkatnya kasus penyakit seperti diare serta infeksi kulit menjadikan kondisi semakin kritis.
— Reuters, 7 Desember 2025

Faktor Penyebab: Cuaca, Krisis Iklim & Kerusakan Lingkungan

Walaupun hujan deras akibat siklon tropis merupakan penyebab langsung, banyak laporan menyoroti bahwa kerusakan lingkungan — terutama deforestasi — berperan besar memperparah dampak bencana.

Deforestasi:

Penggundulan hutan besar-besaran membuat tanah kehilangan kemampuan menahan air. Hutan yang seharusnya menjadi “spons alami” (penyerap air hujan) kini berubah menjadi lahan terbuka yang rentan erosi. Ketika hujan ekstrem datang, air tidak lagi meresap ke tanah, melainkan mengalir deras membawa lumpur dan kayu gelondongan ke pemukiman warga.

Data menunjukkan bahwa sejak 2001 hingga 2024, Sumatra telah kehilangan setidaknya 4,4 juta hektare hutan, setara luas negara Swiss.
— Reuters Forestry Data, 2025

Tanpa hutan, daerah aliran sungai (DAS) kehilangan stabilitasnya, sehingga aliran air menjadi sangat deras dan tidak terkendali. Ini yang kemudian memicu banjir bandang dan longsor dahsyat yang menyapu rumah-rumah warga.

 

Suara Warga & Aktivis: Tudingan terhadap Perusakan Hutan

Salah satu suara paling kuat datang dari Reliwati Siregar dari Tapanuli, Sumatra Utara. Ia menyampaikan dengan getir bahwa:

“Mischievous hands cut down trees … they don’t care about the forests, and now we’re paying the price.”

(“Tangan-tangan nakal menebangi pohon… mereka tidak peduli pada hutan, dan sekarang kamilah yang menanggung akibatnya.”)

Pernyataannya merujuk pada kayu-kayu besar yang hanyut terbawa banjir — bukti kuat bahwa pohon sengaja ditebang sebelum bencana terjadi.
— Reuters, 6 Desember 2025

Tokoh lokal Gus Irawan Pasaribu juga menegaskan:

“Yes, there were cyclonic factors, but if our forests were well-preserved … it would not have been this terrible.”

(“Benar, ada faktor siklon, tetapi jika hutan kita terjaga dengan baik… dampaknya tidak akan sedahsyat ini.”)

Pernyataan ini memperlihatkan bahwa bencana merupakan gabungan antara faktor alam dan kelalaian manusia dalam menjaga lingkungan.
— The Straits Times, 2025

Pandangan dari Organisasi Lingkungan & Pakar

Organisasi lingkungan seperti Greenpeace Indonesia ikut mengecam buruknya tata kelola lingkungan. Juru kampanye Greenpeace, Arie Rompas, menegaskan:

“Banjir besar yang melanda Sumatra harus menjadi pengingat terakhir untuk sepenuhnya membenahi tata kelola hutan, kebijakan lingkungan, dan iklim.”

Greenpeace menekankan perlunya evaluasi ulang izin tambang, perkebunan, dan pembukaan lahan — terutama yang berada di hulu sungai dan zona rawan bencana.
— Greenpeace Indonesia, 2025

Selain Greenpeace, lembaga seperti JATAM mengungkapkan bahwa proyek tambang dan perkebunan skala besar mempercepat kerusakan ekosistem. Akses jalan tambang, pembukaan lahan, dan penebangan hutan disebut sebagai faktor yang membuat tanah rapuh dan mudah longsor.

Menurut kelompok lingkungan tersebut, menyebut bencana ini semata “cuaca ekstrem” adalah keliru — karena kerusakan terjadi akibat akumulasi perusakan lingkungan dalam waktu lama.
— The Straits Times, 2025

 

Tanggung Jawab Pemerintah & Kampanye Reformasi Lingkungan

Merespons situasi ini, pemerintah mengumumkan langkah untuk mencabut izin-izin konsesi hutan yang bermasalah, termasuk izin pertambangan dan konversi lahan di zona rawan banjir dan longsor.
— ANTARA News, 2025

Langkah ini menyusul temuan bahwa kayu hasil tebangan ilegal ikut hanyut dalam banjir, menunjukkan kegagalan serius dalam pengawasan hutan. Pemerintah juga menyampaikan komitmen untuk:

  • memperketat regulasi lingkungan,
  • mengevaluasi ulang seluruh konsesi di daerah hulu,
  • dan mempercepat program restorasi ekologis.

Kelompok lingkungan menilai kebijakan ini harus diikuti dengan tindakan nyata, seperti reboisasi menyeluruh, rehabilitasi DAS, dan pembenahan tata ruang yang lebih ketat.
— IDN Times, 2025

Kesimpulan: Bencana Sumatra 2025 & Pelajaran Penting untuk Masa Depan

Banjir dan longsor yang melanda Sumatra pada 2025 bukan sekadar akibat fenomena cuaca ekstrem. Tragedi ini merupakan hasil gabungan dari:

  • kerusakan hutan,
  • tata kelola sumber daya alam yang buruk,
  • lemahnya pengawasan lingkungan,
  • serta dampak nyata perubahan iklim global.

Dengan lebih dari 900 korban jiwa, ribuan rumah hancur, dan infrastruktur vital lumpuh, bencana ini menjadi pengingat keras bahwa penjagaan lingkungan bukan pilihan — melainkan kebutuhan mendesak.

Jika Indonesia tidak segera memperbaiki tata kelola hutan, memperkuat regulasi lingkungan, dan melakukan restorasi ekosistem secara menyeluruh, maka bencana serupa berpotensi terulang dengan skala yang lebih besar.

Momentum ini seharusnya menjadi titik balik untuk perubahan kebijakan dan kesadaran kolektif: bahwa menjaga alam adalah fondasi keselamatan manusia, bukan sekadar wacana.

Tumpukan kayu pasca bencana banjir bandang mengakibatkan putusnya akses ke Desa Tanjung Karang Aceh Tamiang (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)
Tumpukan kayu pascabanjir bandang mengakibatkan putusnya akses ke Desa Tanjung Karang Aceh Tamiang (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

DAFTAR REFERENSI

  1. Reuters. Indonesians climb over logs in walk to aid centre as flood deaths rise over 900. 6 Des 2025.
  2. Reuters. Everything destroyed: Indonesia’s Aceh grapples with disease after floods. 7 Des 2025.
  3. The Straits Times. Sumatra floods worsened by poor forest preservation. 2025.
  4. Greenpeace Indonesia. Pernyataan terkait banjir besar Sumatra 2025.
  5. ANTARA News. Pemerintah akan mencabut izin konsesi bermasalah di daerah rawan banjir. 2025.
  6. IDN Times. Greenpeace desak restorasi ekologis pasca-banjir Sumatra. 2025.
  7. JATAM & lembaga pemantau lingkungan, laporan investigatif 2025.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *