sEntra, 27 Agustus 2025 – Di Indonesia, guru sering disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Dosen digambarkan sebagai agen perubahan yang melahirkan generasi intelektual. Sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipandang sebagai wakil rakyat yang dipercaya mengawal aspirasi masyarakat melalui regulasi dan kebijakan.
Namun, ketika berbicara tentang kesejahteraan, realitas menunjukkan kontras yang tajam. Guru dan dosen, meski memikul tanggung jawab besar dalam pembangunan sumber daya manusia, masih berjuang dengan gaji yang relatif rendah. Sebaliknya, anggota DPR yang kinerjanya kerap menuai kritik justru menikmati penghasilan yang fantastis.
Perbandingan ini bukan sekadar soal angka, tetapi juga menggambarkan wajah prioritas kebijakan negara: siapa yang sebenarnya dihargai lebih tinggi, pendidik yang mencetak masa depan bangsa atau politisi yang mengatur kebijakan publik?
Gaji Guru: Tanggung Jawab Besar, Penghargaan Kecil

Menurut laporan Antara (2025) dan theAsianParent (2025), pemerintah memberikan kenaikan gaji ASN setara satu kali gaji pokok. Dengan skema ini, guru PNS golongan III/a yang sebelumnya bergaji Rp2,7 juta kini bisa memperoleh sekitar Rp5,5 juta per bulan, ditambah tunjangan profesi.
Bagi guru non-ASN bersertifikat, pemerintah menetapkan tunjangan profesi sebesar Rp2 juta per bulan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan masih banyak guru honorer non-sertifikasi yang hanya menerima gaji Rp500 ribu – Rp1 juta per bulan. Angka ini tidak hanya jauh dari UMR, tetapi juga tidak sebanding dengan beban kerja yang mencakup mengajar, mendidik, serta menyesuaikan diri dengan kurikulum dan teknologi pendidikan terbaru.
Ironisnya, di berbagai daerah, masih ada kisah guru yang harus mencari pekerjaan tambahan—sebagai ojek, pedagang, atau buruh—demi memenuhi kebutuhan hidup. Bagaimana mungkin profesi yang bertanggung jawab melahirkan generasi unggul justru masih bergulat dengan persoalan dasar kesejahteraan?
Gaji Dosen: Ilmu Tinggi, Imbalan Belum Setara
Dosen, terutama yang berstatus ASN, memang berada sedikit lebih baik dibanding guru. Berdasarkan data Kemenkeu dan Kemdikbud (2025), gaji dosen PNS dengan gelar magister (golongan III/b–III/d) berkisar Rp3,2–6,5 juta per bulan. Ditambah tunjangan profesi yang setara dengan gaji pokok, total take home pay bisa mencapai Rp8–12 juta.
Dosen dengan jabatan fungsional lebih tinggi, seperti Lektor Kepala atau Profesor, mendapatkan gaji pokok Rp7–8 juta ditambah tunjangan profesi. Khusus untuk profesor, ada tunjangan kehormatan sebesar 2 kali gaji pokok. Dengan skema tersebut, profesor bisa memperoleh Rp15 juta lebih per bulan.
Namun, kesenjangan kembali muncul pada dosen non-ASN atau kontrak. Banyak yang hanya menerima Rp3–5 juta tanpa tunjangan memadai. Bahkan ada kasus dosen kontrak di perguruan tinggi swasta yang bergaji setara atau bahkan lebih rendah dari guru honorer berstatus ASN.
Di sisi lain, dosen dituntut untuk meneliti, menulis publikasi internasional, membimbing mahasiswa, hingga mengurus administrasi kampus. Tekanan kerja tinggi ini tidak sebanding dengan pendapatan, terutama bagi mereka yang masih di level awal karier akademik.
Gaji DPR: Privilege Wakil Rakyat
Berbeda dengan guru dan dosen, anggota DPR memiliki skema gaji dan tunjangan yang jauh lebih menggiurkan. Berdasarkan laporan Liputan6 (2025) dan Okezone (2025), gaji pokok anggota DPR memang hanya sekitar Rp4,2 juta per bulan. Tetapi setelah ditambah tunjangan jabatan, tunjangan istri/anak, tunjangan aspirasi, biaya perjalanan dinas, hingga tunjangan komunikasi, jumlahnya membengkak hingga Rp69–70 juta per bulan.
Belum berhenti di situ. DPR juga mendapat kompensasi rumah sebesar Rp50 juta per bulan, menggantikan rumah dinas yang dihapus. Jika dihitung total, penghasilan mereka bisa menembus Rp100 juta lebih per bulan.
Fasilitas lain juga tidak kalah mencolok: mobil dinas, asuransi kesehatan premium, hingga dana reses yang bisa mencapai miliaran rupiah per tahun untuk kegiatan di daerah pemilihan. Dengan kata lain, gaji DPR tidak hanya besar secara nominal, tetapi juga dikelilingi berbagai privilege yang memperlebar jarak dengan profesi lain.
Analisis Kritis: Prioritas yang Salah Arah?
Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah negara sudah menempatkan penghargaan pada profesi sesuai kontribusinya? Guru dan dosen adalah pilar utama dalam mencetak generasi emas, namun kesejahteraannya masih sering menjadi isu tahunan yang tak kunjung tuntas.
Sementara itu, DPR yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat justru menikmati kesejahteraan super-elit. Bahkan dalam kasus tertentu, kehadiran DPR di rapat paripurna kerap minim, dan kinerjanya dinilai tidak sebanding dengan fasilitas yang diterima.
Kontradiksi ini semakin jelas ketika kita melihat bahwa guru dan dosen harus melalui sertifikasi, publikasi ilmiah, dan penilaian kinerja ketat untuk mendapatkan tunjangan tambahan. Sedangkan anggota DPR menerima tunjangan secara otomatis begitu mereka duduk di kursi parlemen, tanpa parameter kinerja yang transparan.
Dampak Sosial: Kualitas Pendidikan Bisa Tersandera
Ketidakadilan dalam kesejahteraan berpotensi menciptakan dampak jangka panjang. Guru dan dosen yang merasa tidak dihargai secara layak mungkin kehilangan motivasi, atau bahkan mencari peluang lain di luar bidang pendidikan. Akibatnya, kualitas pembelajaran menurun, riset stagnan, dan generasi muda kehilangan role model yang seharusnya menjadi inspirasi.
Sebaliknya, ketika DPR mendapatkan gaji besar tanpa mekanisme evaluasi yang ketat, publik bisa semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi legislatif. Hal ini memperparah krisis legitimasi politik yang sudah lama dirasakan masyarakat.
Di tengah maraknya keresahan, masyarakat mulai menghidupkan gerakan solidaritas melalui media sosial. Tagar-tagar seperti #NaikkanGajiGuru, #KeadilanUntukDosen, hingga #HargaiPendidik menjadi trending di berbagai platform, menggambarkan kemarahan sekaligus kepedulian publik. Mahasiswa, aktivis, orang tua, hingga tokoh masyarakat bersuara lantang, menyuarakan bahwa kesejahteraan pendidik bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Tak berhenti pada suara digital, berbagai komunitas juga mulai membuat template kampanye, poster solidaritas, hingga twibbon dukungan untuk digunakan secara masif. Dari ruang kelas, kampus, hingga jalanan dunia maya, masyarakat bersatu membangun narasi bahwa guru dan dosen tidak boleh lagi dipinggirkan. Gerakan ini perlahan berubah menjadi kekuatan kolektif, sebuah tekanan moral yang mendesak pemerintah agar menata ulang prioritas dan memberikan penghargaan layak bagi para pendidik bangsa.

Refleksi dan Harapan
Sudah saatnya pemerintah dan DPR bercermin: apakah adil jika pendidik bangsa masih berjuang dengan gaji kecil, sementara wakil rakyat hidup dengan penghasilan puluhan hingga ratusan juta rupiah?
Peningkatan gaji guru dan dosen bukan sekadar soal kesejahteraan individu, melainkan investasi untuk masa depan bangsa. Tanpa guru dan dosen yang sejahtera, Indonesia akan sulit bersaing di era global. Sementara itu, DPR perlu membuktikan bahwa fasilitas yang mereka nikmati sebanding dengan kerja keras dan dedikasi dalam memperjuangkan rakyat.
Dengan menata ulang prioritas, negara bisa menunjukkan keberpihakan nyata kepada sektor pendidikan. Jika tidak, kesenjangan ini akan terus menjadi ironi: negeri yang katanya menjunjung pendidikan, tetapi masih menempatkan pendidik jauh di bawah politisi dalam hal penghargaan materi.
Referensi
- Antara. (2025). Besaran gaji guru ASN dan non-ASN 2025, begini rinciannya. antaranews.com.
- theAsianParent. (2025). Besaran gaji guru PNS dan honorer di Indonesia terbaru. id.theasianparent.com.
- Pikiran-Rakyat. (2025). Besaran tunjangan profesi guru 2025. prbandungraya.pikiran-rakyat.com.
- Kemenkeu RI & Kemdikbudristek. (2025). Rincian gaji dan tunjangan dosen PNS tahun 2025.
- Liputan6. (2025). Rincian terbaru gaji anggota DPR total lebih dari Rp70 juta per bulan. liputan6.com.
- Okezone. (2025). Segini rincian gaji anggota DPR yang tembus Rp100 juta per bulan. economy.okezone.com.
- Kontan. (2025). Gaji DPR RI 2025: benarkah Rp3 juta per hari?. nasional.kontan.co.id