sEntra – 15 November. Generasi Gen Z dan ALPHA kini lebih cepat menggeser layar ponsel dibanding membaca berita utuh. Fenomena ini menggambarkan pergeseran pola pikir dan perilaku dalam mengonsumsi informasi dari kedalaman menuju kecepatan isi berita, dari narasi panjang menuju potongan-potongan visual cepat. Budaya Scrolling telah membentuk generasi yang haus informasi instan, tetapi kehilangan ketajaman berpikir.
Fenomena “Scrolling Culture” dan Pergeseran Minat

Fenomena “scroll culture” atau terkadang kita sebut doomscrolling telah mengubah cara generasi muda mengonsumsi informasi. Mereka kini terbiasa dan lebih menyukai format konten yang serba cepat, instan, dan kaya akan visual, seperti video pendek dan gambar di media sosial, dan meme. Kebiasaan ini mengakibatkan pergeseran minat yang signifikan, di mana aktivitas yang menuntut fokus seperti membaca berita atau esai panjang mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, mereka lebih memilih tontonan singkat yang padat informasi, menghibur, dan sering kali bersifat interaktif.
Berdasarkan laporan “Digital 2024: Global Overview Report” dari We Are Social, pengguna internet di Indonesia memiliki durasi online rata-rata 7 jam 38 menit setiap hari. Media sosial menjadi layanan yang paling dominan diakses, di mana pada tahun 2024, alokasi waktu khusus untuk platform ini mencapai sekitar 3 jam 11 menit per hari.
Dampak terhadap Pola Pikir dan Munculnya Gelembung Informasi
Kebiasaan mengonsumsi informasi instan secara langsung membentuk pola pikir generasi muda saat ini. Paparan terus-menerus terhadap konten singkat melatih otak untuk berpikir cepat dan reaktif, namun sering kali mengorbankan kedalaman analisis. Akibatnya, banyak anak muda menjadi lebih mudah menerima sebuah headline atau kesimpulan berita secara mentah tanpa adanya dorongan alami untuk memverifikasi fakta atau memahami konteksnya secara utuh. Kemampuan untuk melakukan analisis kritis dan kesabaran untuk mendalami sebuah isu yang kompleks pun berisiko terkikis, karena terbiasa mendapatkan jawaban dalam hitungan detik.
Masalah ini diperparah oleh cara kerja algoritma media sosial yang secara tidak sadar menciptakan gelembung informasi atau “echo chamber”. Algoritma dirancang untuk menyajikan konten yang kita sukai, sehingga hanya informasi yang searah dengan keyakinan pengguna yang terus-menerus muncul. Lingkungan digital yang seragam ini menjadi lahan subur bagi tumbuhnya polarisasi, intoleransi, bahkan penyebaran hoaks, karena perspektif alternatif jarang sekali ditampilkan. Sebagai contoh nyata, banyak remaja yang membentuk opini politik mereka hanya berdasarkan potongan video kampanye yang viral, tanpa melakukan riset lebih lanjut mengenai rekam jejak atau program kandidat secara keseluruhan.
Dampak terhadap Perilaku Sosial dan Kesehatan Mental

Budaya ini secara langsung memengaruhi perilaku sosial dengan memicu fenomena FOMO (Fear of Missing Out). Ini adalah rasa cemas dan takut ketinggalan tren atau informasi terbaru yang membuat individu merasa harus selalu terhubung dan “update”. Perasaan ini menciptakan tekanan sosial untuk ikut serta dalam setiap percakapan atau kejadian yang sedang viral. Ketika seseorang gagal mengikuti arus, dapat muncul perasaan menyesal, yang pada akhirnya memicu kecemasan dan stres digital karena tuntutan untuk selalu tampil eksis di dunia maya.
Dampak dari perilaku ini adalah pergeseran drastis pada skala prioritas informasi. Konten yang bersifat viral dan menghibur sering kali lebih banyak dicari dan dianggap lebih penting daripada informasi krusial yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Terjadi sebuah ironi di mana, “berita tentang kehidupan seorang influencer bisa mendapatkan jutaan penonton, sementara berita mengenai bencana alam atau isu kebijakan penting pemerintah justru tenggelam.” Hal ini menunjukkan bagaimana scroll culture dapat mendistorsi persepsi audiens tentang apa yang sebenarnya penting.
Detoks Sosmed sebagai solusi “Scroll Culture”
Di tengah derasnya arus informasi dan kebisingan digital, salah satu solusi paling efektif untuk mengatasi dampak negatif scroll culture adalah dengan melakukan detoks media sosial atau detoks digital. Detoks digital adalah upaya untuk mengurangi atau bahkan menghentikan penggunaan perangkat digital atau media sosial dalam jangka waktu tertentu. Banyak orang melaporkan bahwa detoks ini membantu mereka mengatasi kecanduan teknologi dan mengurangi tekanan yang disebabkan oleh kehidupan digital.Tujuannya adalah untuk memutus siklus ketergantungan dopamin dari notifikasi aplikasi sosial media, memberikan ruang bagi otak untuk kembali tenang, serta mengurangi tekanan psikologis seperti FOMO dan kecemasan yang telah kita bahas. Dengan berhenti sejenak, kita memberi kesempatan pada otak untuk ‘mengatur ulang’ dari stimulasi berlebih, yang pada gilirannya dapat membantu mengembalikan kemampuan untuk fokus lebih lama dan berpikir lebih dalam.

Detoks tidak harus berarti menghilang sepenuhnya dari dunia digital. Langkah ini bisa dimulai dari hal-hal kecil yang bisa langsung diterapkan, seperti mematikan notifikasi aplikasi yang tidak penting, menetapkan ‘jam bebas gawai’ setiap malam, atau berkomitmen untuk tidak membuka media sosial di satu jam pertama setelah bangun tidur. Untuk langkah yang lebih signifikan, bisa dicoba untuk tidak membuka aplikasi tertentu selama akhir pekan atau bahkan menonaktifkan akun sementara selama seminggu. Inti dari detoks ini bukanlah untuk lari dari teknologi, melainkan untuk membangun kembali hubungan yang lebih sehat dan sadar dengannya, di mana kita yang memegang kendali, bukan sebaliknya.
Penutup: Merebut Kendali di Era Digital
Fenomena scroll culture telah mengubah cara kita berpikir dan berperilaku, sering kali mengorbankan kedalaman analisis demi kecepatan dan menjebak kita dalam gelembung informasi (echo chamber) serta kecemasan sosial (FOMO). Oleh karena itu, tantangan kita bukanlah menolak teknologi, melainkan menjadi pengguna yang lebih kritis dan berdaulat. Ini adalah panggilan untuk secara sadar membangun ‘imunitas digital’ dengan berani mempertanyakan konten yang kita lihat, aktif mencari perspektif di luar algoritma, dan memiliki kendali penuh untuk berhenti menggulir demi menjaga kesehatan mental dan kejernihan pikiran di tengah derasnya arus informasi.
Penulis : Salman Yahua Rusadi
Referensi
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. (2021, 8 Juni). Fear of missing out (FOMO), ketakutan kehilangan momen. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13931/fear-of-missing-out-fomo-ketakutan-kehilangan-momen.html
Alodokter. (2024, 5 November). Detoks sosmed, ini manfaat dan tips melakukannya. https://www.alodokter.com/detoks-sosmed-ini-manfaat-dan-tips-melakukannya
Sugiarti, U. (2025, 10 Februari). Mayoritas generasi Z menghabiskan waktu luang dengan media sosial. GoodStats. https://goodstats.id/article/mayoritas-generasi-z-menghabiskan-waktu-luang-dengan-media-sosial-KT9NM
Hasbi, F. A. (2023, 18 Oktober). Scroll culture: Budaya generasi Z yang kian hari melekat kuat. Kumparan. https://kumparan.com/farin-alfarizi-hasbi/scroll-culture-budaya-generasi-z-yang-kian-hari-melekat-kuat-21OgSj5QeZJ





