sEntra 02 Desember 2025 – Marsinah merupakan salah satu nama paling penting dalam sejarah Perjuangan Buruh dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Ia lahir dari lingkungan sederhana, bekerja sebagai buruh, dan meninggal dalam perjuangan menuntut keadilan bagi pekerja. Kini, kisahnya menjadi simbol atas keberanian perempuan melawan represi negara dan kapitalisme yang menindas.
Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Nganjuk, Jawa Timur. Ia tumbuh mandiri setelah ibunya meninggal saat ia masih berusia tiga tahun. Kondisi ekonomi keluarga memaksanya menunda cita-cita melanjutkan pendidikan di fakultas hukum dan memilih bekerja sebagai buruh untuk membantu kehidupan keluarga. Ia kemudian bergabung di PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo.
Meski bekerja di lingkungan yang keras, Marsinah tetap berupaya memperluas wawasan melalui membaca serta mengikuti kursus. Ia dikenal sebagai sosok pekerja yang kritis dan berani membela teman-temannya ketika terjadi ketidakadilan di tempat kerja.
Aksi Perjuangan Buruh CPS dan Konflik dengan Aparat
Pada awal 1993, pemerintah mengimbau kenaikan upah minimum sebesar 20%. Namun pihak perusahaan menolak menaikkan gaji pokok dan hanya menambah tunjangan, yang justru merugikan buruh terutama perempuan yang kerap tidak bisa masuk kerja karena menstruasi atau hamil. Marsinah menilai kebijakan ini tidak adil dan bertentangan dengan aturan ketenagakerjaan.
Hal ini memicu mogok kerja pada 3–4 Mei 1993 dengan tuntutan kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250/hari serta hak-hak lain seperti cuti haid, THR, dan jaminan kesehatan. Aksi ini mendapat tekanan aparat dan berakhir dengan intimidasi besar-besaran.
Sebanyak 13 buruh dipanggil ke Kodim 0816 dan dipaksa menandatangani pengunduran diri. Marsinah yang tidak termasuk dalam daftar justru mendatangi Kodim untuk menuntut kejelasan bagi kawan-kawannya, tetapi sejak malam itu ia menghilang tanpa jejak.

Kematian Tragis Marsinah dan Luka HAM yang Menganga
Pada 8 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan di Wilangan, Nganjuk, dengan luka-luka memar, patah tulang, dan indikasi kekerasan seksual menunjukkan ia disiksa sebelum dibunuh.
Namun investigasi negara justru diarahkan kepada pihak perusahaan. Para petinggi PT CPS yang ditetapkan sebagai tersangka kemudian mencabut pengakuan karena dipaksa melalui penyiksaan. Mahkamah Agung akhirnya membebaskan mereka karena lemahnya bukti, sehingga hingga kini pelaku sebenarnya belum pernah diadili.
Kasus ini menjadi salah satu contoh paling kelam kegagalan negara dalam menegakkan HAM pada masa Orde Baru.
Diakui Sebagai Pahlawan Nasional dan Kontroversi yang Mengiringi
Pada 10 November 2025, pemerintah menetapkan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional sebagai bentuk penghormatan atas keberaniannya memperjuangkan nasib kaum buruh. Serikat pekerja menyebut penetapan ini sebagai kemenangan moral bagi gerakan buruh.
Namun, menuai kritik karena pemerintah juga memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, tokoh yang dianggap berkuasa pada saat represi terhadap buruh terjadi.
Pakar politik Made Supriatma mengecam keras keputusan tersebut, “Ini persis seperti menyandingkan pembunuh dan korbannya.”
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa langkah itu: “Mengaburkan nilai moral dan politik, mana yang pahlawan dan mana pengkhianat dalam sejarah.”
Bagi para aktivis HAM, pengakuan negara ini masih pincang karena keadilan bagi Marsinah belum ditegakkan.
Suara Dari Gerakan Buruh
Presiden KSPSI Andi Gani menegaskan bahwa gelar tersebut membawa pesan bahwa perjuangan Marsinah harus dituntaskan secara hukum: “Kasus kematian Marsinah harus diusut jelas.”
Ia juga menyatakan bahwa keberanian Marsinah menjadi teladan bagi perjuangan buruh saat ini: “Tidak takut dengan ancaman… menjadi contoh buat kami para pimpinan buruh.”
Presiden ASPIRASI Mirah Sumirat juga menambahkan: “Penetapan ini mengukuhkan bahwa perjuangan buruh adalah bagian dari perjuangan bangsa.”
Namun ia memperingatkan: “Jangan sampai ada Marsinah-Marsinah baru di masa depan.”
Warisan Perjuangan Marsinah
Perjuangan Marsinah mengajarkan bahwa:
- Perlawanan terhadap ketidakadilan merupakan hak setiap warga negara.
- Perempuan memiliki peran penting dalam gerakan buruh.
- Negara wajib melindungi aktivis bukan menindas mereka.
Keberanian Marsinah di masa lalu menjadi semangat perjuangan buruh masa kini untuk terus memperjuangkan hak-haknya tanpa intimidasi.

Kesimpulan: Kepahlawanan yang Masih Menunggu Keadilan
Pengakuan negara terhadap Marsinah memang penting, namun keadilan substantif tetap harus ditegakkan: siapa yang menyiksa dan membunuh Marsinah?
Seperti pesan Andi Gani:
“Penghargaan ini bukan penutup, tetapi pembuka jalan bagi perjuangan buruh yang lebih beradab.”
Marsinah telah menunjukkan bahwa suara buruh tidak boleh dibungkam. Ia gugur, tetapi keberaniannya akan terus hidup dalam setiap perjuangan buruh Indonesia.
Sumber Referensi
https://jernih.co/potpourri/daftar-yang-diusulkan-dapat-gelar-pahlawan-nasional-pada-2025/
Penulis: Putra Rizky Fadilah





