“Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali…”
sEntra, 25 Juli 2025 – Larik puisi karya Soetardji Calzoum Bachri ini dipinjam Leila S. Chudori sebagai syair pembuka novel Laut Bercerita. Diceritakan di dalam novel, bait puisi tersebut adalah hadiah ulang tahun ke-25 dari tokoh Sang Penyair teman dekat Biru Laut yakni Gala Pranaya untuk Biru Laut, bait puisi ini telah melekat kuat pada sang tokoh utama dan terus hidup seiring cetakan novel yang kini telah mencapai cetakan ulang ke-100. Sama seperti puisi itu, Biru Laut terus “lahir berkali-kali”.

Tokoh Utama : Biru Laut Wibisana
Tokoh utama yakni Biru Laut Wibisana adalah seorang mahasiswa Sastra Inggris UGM yang bergabung dengan organisasi Winatra dan Wirasena—kelompok aktivis dan mahasiswa yang memperjuangkan keadilan sosial, demokrasi, dan hak asasi manusia secara rahasia di bawah tekanan Orde Baru. Mereka membantu buruh yang digaji tak layak, petani yang digusur paksa, dan mengadakan diskusi buku-buku yang dilarang oleh pemerintah pada masa itu yang bertema sosial dan kritik yang dinilai bertentangan dengan ideologi negara sehingga mereka yang melakukan kritik, perlawanan dan membaca buku-buku seperti itu akan dianggap membahayakan ketertiban negara dan dicap sebagai pengkhianat bangsa.
Alur cerita dan sudut pandang Novel Laut Bercerita
Novel yang dirilis pertama kali pada tahun 2017 bersamaan dengan film pendek adaptasinya ini menggunakan alur campuran (maju dan mundur) dengan sudut pandang orang pertama yang terbagi menjadi dua: bagian pertama diisi oleh sudut pandang Biru Laut dengan latar waktu tahun 1991–1998 yang menceritakan perjuangannya dan kawan-kawannya sebagai aktivis muda, sedangkan bagian kedua oleh sudut pandang adiknya Biru Laut yaitu Asmara Jati dengan rentang waktu tahun 2000–2008, yang mencari kejelasan atas hilangnya sang kakak.
Kekejaman terhadap aktivis dan hati nurani sebagai penggerak perjuangan
Dikisahkan bagaimana Biru Laut dan rekan-rekannya diculik, disekap, dan disiksa secara kejam oleh sekolompok orang tak dikenal untuk mengungkap siapa “dalang” dari pergerakan mereka. Namun mereka bergerak bukan karena seseorang, melainkan karena hati nurani. Bukan ambisi yang mendorong mereka, tetapi keberanian untuk tidak tinggal diam saat ketidakadilan terjadi di depan mata.

Leila S. Chudori terinspirasi dari kisah nyata
Melalui sudut pandang Biru Laut dan Asmara Jati, pembaca diajak ikut merasakan penderitaan korban dan juga kedukaan keluarga korban penculikan yang kehilangan anggota terkasih tanpa kejelasan. Leila S. Chudori menghanyutkan pembacanya dengan tulisan untuk menyelami sejarah kelam Indonesia, khususnya tragedi penculikan aktivis 1997–1998. Di dalam bagian “Ucapan Terima Kasih” yang tersemat diakhir novel, Leila menegaskan bahwa novel ini terinspirasi dari kisah nyata orang-orang yang selamat setelah mengalami penculikan 1998 serta kisah mereka yang dihilangkan dan duka mereka yang ditinggalkan.
Dampak fiksi Novel Laut Bercerita dalam mengingat sejarah
Penting bagi kita para generasi muda untuk mengetahui sejarah ini. Lewat pendekatan fiksi, Laut Bercerita membuka mata pembaca dan mendorong mereka mencari tahu lebih lanjut tentang sejarah Indonesia khususnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia, dan buku-buku yang selama ini dibungkam. Tokoh Biru Laut menjadi simbol dari sejarah yang pernah ditenggelamkan dan kini perlahan muncul ke permukaan. Tragedi 1998 belum usai. Hingga kini, masih ada penyintas yang berjuang menghadapi trauma, keluarga korban yang belum menemukan keadilan, dan para pelaku yang belum pernah diadili. Cetakan ulang ke-100 novel ini menjadi pengingat bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi napas panjang perjuangan yang belum selesai. Kisah Biru Laut dan kawan-kawan mewakili ratusan aktivis yang suaranya dibungkam dan tubuhnya dihilangkan, namun semangat mereka tetap hidup dalam ingatan kolektif bangsa. Laut Bercerita bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi bentuk perlawanan terhadap lupa. Kejahatan kemanusiaan adalah ancaman yang bisa terulang kembali bagi kita dan bangsa ini jika kita hanya memilih diam.
Cetakan ke-100 sebagai simbol kesadaran
Cetakan ke-100 bukan hanya sekadar angka, tetapi tanda bahwa nurani masih bekerja. Bahwa melawan ketidakadilan bukan hanya tugas masa lalu, tetapi juga tanggung jawab hari ini dan esok hari. Menghargai dan melindungi hak asasi manusia adalah kewajiban moral setiap individu yang memiliki rasa kemanusiaan dan keberanian untuk peduli. Dan pada akhirnya, keberpihakan pada keadilan adalah bentuk paling jujur dari menjadi manusia. Seperti kata Kasih Kinanti di halaman 183.
“Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi…”
kontribusi untuk Indonesia yang lebih baik.

Penutup : Harapan agar fiksi seperti Laut Bercerita tetap hidup lintas generasi
Harapan kita adalah agar buku-buku seperti Laut Bercerita ini tidak berhenti hanya sebagai bacaan sesaat, tapi akan terus hidup dan dibaca lintas generasi untuk merawat kesadaran akan sejarah, kemanusiaan, dan keberanian bersuara—agar bangsa ini tak kembali lupa akan sejarahnya.
Referensi
- Buku Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori
- Instagram Leila S. Chudori @leilachudori
- https://itb.ac.id/berita/laut-bercerita-latar-belakang-dan-sejarah-di-baliknya/58238
- https://www.kompasiana.com/aulianurlatifah4302/6582a146c57afb56791bef52/rekontruksi-sejarah-orde-baru-1998-dalam-buku-novel-laut-bercerita-karya-leila-s-chudori
Penulis: Stifia Rizqi Johary
Editor : Salman Yahua Rusadi