sEntra – 17 November. Wacana penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional muncul dari dinamika panjang hubungan Indonesia dengan sejarah Orde Baru. Sejak lengser pada 1998, warisan politik dan ekonominya selalu diperdebatkan. Meski telah memasuki era reformasi lebih dari dua dekade, figur Soeharto tetap menjadi simbol yang membelah penilaian publik: ada yang mengenangnya sebagai “Bapak Pembangunan”, namun ada pula yang mengingatnya sebagai pemimpin otoriter dengan berbagai catatan pelanggaran hak asasi manusia.
Dorongan untuk mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan biasanya datang dari kelompok yang menilai bahwa kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi nasional sangat besar. Mereka menekankan keberhasilan swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, stabilitas harga, serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada masa awal Orde Baru. Narasi ini kemudian diperkuat oleh nostalgia sebagian masyarakat yang merasakan keteraturan dan kepastian kebijakan di masa tersebut.
Namun, gagasan ini tidak diterima secara bulat. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa gelar pahlawan nasional bukan sekadar penghargaan simbolis, tetapi bentuk pengakuan negara atas moralitas, integritas, dan peran historis seseorang. Karena itu, banyak pihak menilai bahwa rekam jejak Soeharto tidak dapat dilihat secara sepihak. Perdebatan menjadi semakin sensitif karena sejumlah kasus pelanggaran HAM di masa Orde Baru belum tuntas, sementara korupsi dan sentralisasi kekuasaan masih meninggalkan dampak struktural yang dirasakan hingga kini.

Kemunculan kembali wacana ini juga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan politik kontemporer. Figur Soeharto kerap digunakan sebagai simbol stabilitas oleh beberapa kelompok politik, sehingga wacana pahlawan terkadang dibaca dalam konteks kepentingan politik kekuasaan. Di sisi lain, generasi muda yang hidup jauh dari pengalaman langsung Orde Baru memerlukan narasi yang lebih jernih dan kritis agar tidak terjebak pada gambaran tunggal tentang sejarah.
Dengan demikian, penetapan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional 2025 melalui Keputusan Presiden 116/TK/2025 memicu respons publik yang sangat beragam., perdebatan mengenai penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan semata soal layak atau tidak layak, melainkan pertarungan narasi tentang bagaimana bangsa ini memilih untuk mengingat masa lalunya.
Jejak Kontroversi Orde Baru: Luka Sejarah yang Masih Mencuat

Masa Orde Baru yang berlangsung dari 1966 hingga 1998 merupakan salah satu periode paling panjang dalam sejarah politik Indonesia. Di satu sisi, era ini sering dikaitkan dengan stabilitas, pembangunan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, rangkaian peristiwa yang terjadi selama lebih dari tiga dekade tersebut meninggalkan jejak kontroversi yang hingga kini masih menjadi perdebatan nasional. Jejak inilah yang kembali muncul ke permukaan ketika wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto mengemuka.
Salah satu kontroversi paling menonjol adalah persoalan pelanggaran hak asasi manusia. Berbagai laporan resmi dan penelitian media menunjukkan betapa luas dan kompleksnya rangkaian kekerasan negara yang terjadi pada masa itu. Komnas HAM, dalam laporan yang dirangkum Katadata, mencatat estimasi korban tewas pada peristiwa 1965–1966 berkisar antara 78.000 hingga 3 juta orang, angka yang menunjukkan betapa gelapnya masa konsolidasi awal Orde Baru. Selain itu, operasi militer di Papua selama 1963–2003 diperkirakan menyebabkan sekitar 100.000 korban, mulai dari yang tewas, cacat, hingga hilang. Tragedi lain seperti Penembakan Misterius (Petrus) pada awal 1980-an mengakibatkan lebih dari 5.000 orang tewas, sementara Tanjung Priok 1984 mencatat setidaknya 79 korban berdasarkan temuan Komnas HAM.
Memasuki tahun 1990-an, deretan pelanggaran HAM berat masih berlanjut. Talangsari 1989 menorehkan data 574 korban, termasuk korban tewas, penganiayaan, dan pemindahan paksa. Menjelang keruntuhan Orde Baru, penghilangan paksa terhadap aktivis prodemokrasi pada 1997–1998 menewaskan dan menghilangkan belasan orang; Komnas HAM mencatat 23 aktivis menjadi korban, dengan 13 orang hingga kini belum ditemukan. Tragedi pembunuhan mahasiswa dalam peristiwa Trisakti dan Semanggi menambah daftar hitam kekerasan politik yang belum terselesaikan.
Kerusuhan Mei 1998 menjadi puncak krisis. Kerusuhan yang melanda Jakarta dan beberapa kota besar ini menelan korban jiwa dalam jumlah besar. Laporan yang banyak dikutip menyebut lebih dari 2.200 orang tewas, ribuan bangunan dibakar, dan ratusan perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Peristiwa ini bukan hanya menandai runtuhnya rezim, tetapi juga membuka luka sosial yang hingga kini belum sepenuhnya pulih.
Di luar aspek kekerasan, Orde Baru juga diwarnai praktik korupsi dan sentralisasi kekuasaan. Laporan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative menempatkan Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia, dengan estimasi penggelapan aset negara mencapai 15–35 miliar USD. Korupsi yang terstruktur tersebut berjalan beriringan dengan konsentrasi ekonomi di tangan keluarga Cendana dan para kroni politik. Pada saat yang sama, negara menjalankan kontrol politik yang ketat melalui pembredelan media, pembatasan partai politik, serta pembungkaman kampus melalui kebijakan NKK/BKK. Ruang kebebasan sipil menyempit, sementara kritik terhadap pemerintah kerap berujung intimidasi atau represi.
Secara ekonomi, Orde Baru memang mencatat pertumbuhan yang relatif tinggi, penurunan angka kemiskinan, serta pembangunan infrastruktur. Namun fondasi ekonomi tersebut ternyata rapuh. Krisis moneter 1997–1998 menghapus sebagian besar capaian pembangunan yang diklaim sebagai keberhasilan utama rezim. Dalam hitungan bulan, jumlah penduduk miskin melonjak dari 22,5 juta menjadi hampir 50 juta orang, memperlihatkan betapa timpangnya struktur ekonomi yang dibangun.
Keseluruhan data ini tidak dimaksudkan untuk menafikan keberhasilan Orde Baru dalam bidang pembangunan atau stabilisasi negara, tetapi menjadi pengingat bahwa sejarah Indonesia tidak pernah berdiri hanya pada satu sisi. Jejak kontroversi ini pula yang menjadi alasan mengapa wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menimbulkan respons emosional dan kritis di ruang publik. Bagi banyak kelompok, mengabaikan jejak luka sejarah ini dikhawatirkan dapat mengikis kesadaran kolektif bangsa terhadap pentingnya keadilan, HAM, dan demokrasi.
Dengan memahami secara utuh—baik keberhasilan maupun sisi kelam—generasi muda dapat melihat sejarah secara lebih kritis. Orde Baru bukan sekadar periode stabilitas ekonomi, bukan pula sekadar era represi; ia adalah keduanya sekaligus. Dan kesadaran atas kompleksitas sejarah inilah yang menentukan bagaimana bangsa ini melangkah ke depan.
Bagi sebagian kalangan, memberikan gelar pahlawan kepada figur dengan rekam jejak seperti itu justru berpotensi menciptakan apa yang disebut sebagai “rekonsiliasi tanpa penyelesaian.”
Pandangan Tokoh: Pro dan Kontra Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menimbulkan reaksi beragam di kalangan tokoh publik. Ada yang mendukung dengan alasan jasa pembangunan dan stabilitas, sementara sejumlah pakar dan aktivis menyoroti aspek moral, HAM, dan tanggung jawab historis.
Pendukung Penetapan
- Fadli Zon (Ketua Dewan Gelar GTK)
Fadli Zon berargumen bahwa nama Soeharto telah melewati proses kajian mendalam yang melibatkan berbagai pakar disiplin ilmu. Menurut dia, pemberian gelar tersebut dilakukan secara ketat, objektif, dan transparan. Dia menyebut bahwa meskipun ada kritik, “jasa-jasanya luar biasa.” Dalam pernyataannya, Fadli juga menolak tuduhan bahwa Soeharto terlibat dalam “genosida 1965”: “Enggak pernah ada buktinya … Pelaku genosida apa? Enggak ada itu.” (Antara News, Kompas, RMOL) - Y. Agus Suwignyo (Sejarawan UGM)
Agus Suwignyo menyatakan bahwa Soeharto memenuhi kriteria formal untuk menjadi pahlawan nasional berdasarkan aturan yang berlaku. Ia menekankan bahwa kontribusi Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Operasi Irian Barat adalah bagian penting dari “jasa historis nyata dan signifikan”. (Kompas) - Dadang Kahmad (PP Muhammadiyah)
Dalam pandangan Dadang Kahmad, Soeharto pantas dinilai kembali melalui lensa pembangunan. Menurutnya, peran Soeharto sejak masa revolusi hingga era pembangunan memberikan kontribusi panjang yang berdampak besar bagi negara. (Cahaya Kompas) - Prasetyo Hadi (Menteri Sekretaris Negara) mewakili sudut pandang pemerintahan:
“Bagaimana kita menghormati para pendahulu … apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara.” (iNews)
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa penganugerahan gelar pahlawan bisa dilihat sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi kepemimpinan, meskipun perjalanan sejarahnya tidak sederhana.
Pihak yang Mengkritik
- Bivitri Susanti (Pakar Hukum Tata Negara)
Bivitri menilai gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan administratif. Menurutnya, itu adalah simbol moral bangsa. Menempatkan Soeharto di antara pahlawan nasional bisa menciptakan preseden buruk karena rekam jejak pelanggaran HAM dan otoritarianisme. Ia mengingatkan agar negara berhati-hati memilih tokoh yang dijadikan panutan. (NU Online) - Anis Hidayah (Ketua Komnas HAM)
Anis mengkritik bahwa keputusan ini bisa “mengabaikan luka sejarah” para korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Menurutnya, negara perlu menyelesaikan dulu pengakuan dan pemulihan bagi korban sebelum memberikan penghormatan tertinggi kepada figur yang kontroversial. (Kompas; NU Online) - Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia)
Usman menyebut pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sebagai langkah “ahistoris dan tidak sensitif terhadap korban.” Ia menggarisbawahi bahwa sejumlah kasus besar HAM belum terselesaikan, dan penghargaan tanpa penyelesaian bisa bertentangan dengan semangat reformasi 1998. (Amnesty Indonesia)
Interpretasi Seimbang
Argumen dari pendukung menekankan kontribusi pembangunan, dedikasi terhadap negara, dan peran militer dalam stabilitas nasional. Mereka melihat Soeharto sebagai figur besar dalam sejarah pembangunan Indonesia yang pantas dihormati atas prestasi jangka panjang.
Di sisi lain, tokoh kritis menyentuh dimensi moral dan keadilan historis. Mereka tidak menafikan jasa-jasa pembangunan, tetapi mengingatkan bahwa penghormatan negara harus disertai evaluasi terhadap rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia dan dampak sosial jangka panjang.
Kedua perspektif ini bukanlah saling meniadakan, tetapi bersama-sama menciptakan gambaran kompleks tentang bagaimana bangsa ini menilai figur Soeharto: bukan hitam-putih, melainkan campuran jasa, kontroversi, dan warisan moral.
Mengapa Kritik Ini Penting?

1. Menjaga Integritas Narasi Sejarah
Kritik publik menunjukkan bahwa penetapan gelar pahlawan tidak boleh dilakukan dengan menutup mata pada sisi gelap sejarah. Jika pelanggaran HAM tidak diakui, negara berisiko menciptakan sejarah versi tunggal yang menghilangkan suara korban.
2. Dampak Moral dan Pendidikan Generasi Muda
Gelar pahlawan berfungsi sebagai simbol keteladanan bagi bangsa. Memberikannya kepada tokoh dengan rekam jejak yang kontroversial dapat menciptakan ambiguity moral bagi generasi muda yang mempelajari sejarah Indonesia.
3. Politik Rekonsiliasi yang Belum Tuntas
Setiap langkah rekonsiliasi seharusnya diawali dengan keadilan. Aktivis menganggap bahwa penghargaan semacam ini belum tepat jika negara belum menuntaskan penyelidikan dan pemulihan terhadap korban.
Kesimpulan: Pentingnya Melihat Sejarah Secara Kritis dan Berempati
Polemik seputar peran Soeharto dalam sejarah Indonesia menunjukkan bahwa bangsa ini tengah terus belajar memahami masa lalunya secara lebih dewasa. Setiap periode dalam perjalanan negara memiliki pencapaian yang patut dihargai, sekaligus catatan yang perlu dievaluasi dengan hati terbuka. Karena itu, membahas masa Orde Baru tidak bisa dilakukan hanya dari satu sudut pandang.
Bagi sebagian masyarakat, era tersebut dikenang sebagai masa stabilitas dan pembangunan. Namun bagi sebagian lainnya, periode yang sama meninggalkan pengalaman kehilangan, pembatasan kebebasan, dan peristiwa-peristiwa yang hingga kini belum memperoleh penyelesaian sepenuhnya. Keberadaan para korban dan penyintas pelanggaran HAM menjadi bagian penting dari sejarah bangsa yang tidak dapat diabaikan. Mengakui keberadaan mereka tidak bertujuan menyalahkan masa tertentu, melainkan bentuk penghormatan terhadap martabat manusia dan ingatan kolektif.
Dengan memahami bahwa sejarah memuat berbagai pengalaman yang tidak selalu selaras, kita diajak untuk mengembangkan literasi sejarah yang lebih matang. Sikap kritis diperlukan agar kita dapat menimbang berbagai sumber, memeriksa konteks, dan memahami bahwa setiap peristiwa memiliki latar sosial dan politik yang kompleks. Mengkritisi tidak sama dengan menolak, dan menghargai tidak berarti melupakan—dua hal ini dapat berjalan berdampingan bila kita menempatkan fakta secara proporsional.
Generasi muda memiliki peran penting dalam memastikan agar pembacaan sejarah tidak terjebak pada dikotomi “baik” atau “buruk” semata. Dengan akses luas terhadap berbagai sumber, mereka dapat membangun pemahaman yang lebih menyeluruh—mengapresiasi keberhasilan pembangunan, namun juga memelihara empati terhadap korban serta terus mendorong penyelesaian yang adil dan manusiawi.
Pada akhirnya, bersikap kritis dan berempati dalam membaca sejarah adalah upaya untuk menjaga memori bangsa tetap utuh: tidak menutup mata terhadap penderitaan, tidak pula menutup ruang bagi pengakuan atas kontribusi. Dengan cara itulah kita dapat melangkah maju sebagai bangsa yang menghargai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan tanpa meninggalkan kebijaksanaan dalam menilai masa lalu.
Sumber Referensi
- Antara News. (2024). Fadli Zon: Jasa Soeharto luar biasa, tidak ada bukti genosida 1965. Antaranews.com.
- Amnesty International Indonesia. (2024). Usulan Soeharto jadi pahlawan mencederai amanat reformasi. Amnesty.id.
- Badan Pusat Statistik. (1999). Statistik dampak krisis ekonomi 1997–1998. BPS RI.
- Cahaya Kompas. (2024). Dadang Kahmad: Kontribusi Soeharto perlu dinilai kembali secara proporsional.
- DetikNews. (2024). Kontroversi gelar pahlawan untuk Soeharto. Detik.com.
- Human Rights Watch. (1998). Indonesia: The violence of May 1998. HRW.org.
- iNews. (2024). Mensesneg Prasetyo Hadi: Gelar pahlawan sebagai penghormatan bagi para pendahulu bangsa. Inews.id.
- Katadata. (2023). Infografik: Korban pelanggaran HAM berat masa Orde Baru. Katadata.co.id.
- Komnas HAM RI. (berbagai tahun). Laporan penyelidikan pelanggaran HAM berat 1965–1966; Talangsari 1989; Tanjung Priok 1984; Penghilangan paksa 1997–1998; Trisakti–Semanggi.
Kompas. (2024). Komnas HAM soroti polemik gelar pahlawan Soeharto. Kompas





